We make a life by what We give

We make a living by what We get…. We make a life by what We give… Let's give good things to people around us..

Minggu, 06 Mei 2018

SELFITIS – SELFIE OBSESSION

Selfie atau memotret diri sendiri sepertinya adalah hal sepele dan… begitu banyak orang menyukainya. Namun jika itu menjadi sebuah kecanduan, bisa jadi itu dapat membahayakan diri sendiri.
Danny Bowman, 19 tahun senang melakukan selfie setiap hari. Ia menghabiskan 10 jam setiap harinya untuk selfie kemudian menaruh kurang lebih 200 fotonya di berbagai Social media seperti Instagram, dll setiap harinya. Ia drop out dari sekolahnya, tidak meninggalkan rumahnya selama 6 bulan. Ia terus berusaha membuat dirinya lebih baik dan lebih baik lagi di depan kamera Iphone nya.
Ketika orang tuanya berusaha menghentikannya, ia menjadi sangat agresif dan menyerang orang tuanya. Akhirnya, di dalam usaha drastisnya yang ia lakukan agar bisa keluar dari obsesinya, Danny akhirnya minum obat hingga overdosis dalam usahanya mengakhiri hidupnya. Untunglah ia segera diketahui dan ditolong oleh ibunya. Ini adalah kasus pertama yang terjadi di Inggris yang diberitakan oleh The Mirror UK pada 23 Mar 2014.
Di dalam wawancaranya Danny berkata seperti ini: _“I was constantly in search of taking the perfect selfie and when I realized, I couldn’t, I wanted to die. I lost my friends, my education, my health and almost my life.”_
Mengapa Selfitis ini merusak mental dan berbahaya jika tidak dikontrol?
Orang biasanya tidak menyadari, ketika ia posting gambarnya di facebook, atau twitter atau Instagram dan media sosial lainnya. Hal tersebut bisa menjadi seperti spiral yang makin lama makin membesar. Sesuatu terjadi di dalam dirinya dan semakin lama makin membesar…. Apa itu??? Yaitu… Kebutuhan akan sebuah “ACCEPTANCE”. Begitu fotonya di likes, begitu jumlahnya menjadi makin dan makin banyak, ia makin merasa “DITERIMA”. Ia pun menjadi haus / dahaga untuk mendapat likes ini. 
Sama seperti Kasus Denny, ketika ia posting sebuah gambar, likesnya dibawah 400, itu artinya fotonya jelek dan ia harus meningkatkan lagi kualitas dan gaya fotonya agar semakin dan semakin lebih banyak. Maka ketika orang mulai meninggalkannya dan tidak me-likes foto selfienya, ia pun menjadi gusar, cemas dll.
Pada tahun yang sama dengan kisah Danny, beredar sebuah berita Hoax yang mengemukakan bahwa American Psychiatric Association mempunyai standard untuk menentukan tingkatan Selfitis, sebagai berikut:
1.Borderline Selfitis:
Mengambil foto diri sendiri 3 kali sehari tapi tidak menguploadnya ke Social Media.
2.Acute Selfitis:
Mengambil foto 3 kali sehari dan memposting semua foto tersebut di social media.
3.Chronic Selfitis:
Merasa perlu untuk mengambil foto diri sendiri hampir disetiap waktu dan mempostingnya di social media lebih dari 6 x dalam sehari.
Sekalipun berita diatas itu hoax, akan tetapi baru-baru ini ternyata dibuktikan bahwa SELFITIS bukanlah sebuah hal yang tidak real.
SELFITIS IS REAL
2 Orang peneliti (Janarthanan Balakrishnan dari Thiagarajar School of Management di India dengan Mark D. Griffiths dari Nottingham Trent University di Inggris) mencoba melihat perilaku-perilaku orang (lebih dari 200 responden) yang suka memotret dirinya dan dalam kelompok kategori seperti di atas.
(Published Nov 29, 2017) https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s11469-017-9844-x.pdf
Peneliti tersebut menemukan bahwa Selfitis itu ternyata Valid dan bahkan dengan Selfitis Behaviour Scale yang mereka ciptakan, mereka dapat mengukur secara pasti seberapa parahnya Selfitis itu mempengaruhi kehidupan orang tersebut.
Sesuatu… apa pun itu jika berlebihan… Sudah pasti tidak baik bagi kehidupan kita. Oleh karena itu, lakukanlah dengan bijak dengan frekuensi yang tidak berlebihan.
Sebab itu teruslah menjadi bijak dalam bersosialisasi di Social Media.
“If you didn’t have thumbs or likes as what you have desired. It didn’t mean your followers didn’t like you. It could be just as simple as they didn’t have time to see your posts.”
GC
Have a GREAT Day!
By GC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar