We make a life by what We give

We make a living by what We get…. We make a life by what We give… Let's give good things to people around us..

Rabu, 20 Agustus 2008

Menuju Titik Nol

Hallo teman-teman sekalian,
Saya baru saja selesai membaca buku yang bagi saya
pribadi menarik, karena bisa mengambil pelajaran
tentang hidup dari tulisan di buku itu, untuk itu,
saya kutipkan beberapa bagian, semoga ini bisa
memberikan pencerahan buat teman semua, selamat
membaca ya.


Dikutip dari buku Menuju Titik Nol oleh:
Sonny Wibisono

BERITA ini sungguh mengejutkan. Seorang teman
mengabarkan ayahnya terserang stroke. Mengejutkan,
karena dia seorang dokter, yang tentunya paham
dengan kesehatan. Pengalaman dan pengetahuan, dia
ngelotok betul soal `do and don't' dalam segala hal
yang terkait soal kesehatan. Lain dari itu, dia
memiliki gaya hidup yang sederhana. Namun, apa mau
dikata, Pak Dokter ini terserang stroke.

Stroke adalah tersumbatnya aliran darah secara akut
alias mendadak, biasanya disebabkan gumpalan darah.
Stroke merupakan penyebab
kematian nomor tiga, setelah penyakit jantung dan
kanker, namun merupakan penyebab kecacatan nomor
satu. Awalnya memang penderitanya kebanyakan kaum tua.

Namun belakangan ini, kita sering mendengar
penderitanya pun datang dari kalangan muda. Intinya sih,
mau tua atau masih muda, kalau sudah terjadi
penyumbatan gumpalan darah yang menyebabkan pembuluh
sobek atau terjadinya infeksi vaskuler, ya sok
atuhlah, stroke pun datang menghampiri.

Penyebab stroke antara lain karena kebiasaan merokok,
tekanan darah tinggi, dan kegemukan. Satu pemicu
utamanya adalah gaya hidup yang tidak sehat, umumnya
penderita tidak mengontrol makanan yang masuk
ke dalam tubuh. Lama-lama, makanan yang uenak tenan
itu malah menjadi biang penyakit. Sret, satu urat
tersumbat, stroke pun datang.

Sekarang balik lagi pada kisah Pak Dokter. Semua gaya
hidup sudah dijalani. Dia tidak memiliki korek api
yang dipakainya untuk merokok. Penyakit pun, no way.
Dalam soal makanan pun, ia selalu memilih makanan
yang baik dan sehat. Olah raga pun ia lakukan dalam
seminggu, walau tidak terlalu rutin.

Lantas apa yang menyebabkan ia terkena stroke? Secara
medis tak ditemukan tanda-tanda penyulut penyakit itu.
Akhirnya muncul cerita ini. Sang teman menjelaskan
sebab musababnya.

Menurutnya, ayahnya sering kali menyimpan berbagai
masalah yang ada di dalam hati. Ayahnya sering kali
merasa jengkel dan dongkol dalam beberapa masalah,
termasuk masalah sepele. Atau ia sering kali merasa
sakit hati. Hal itu ia simpan sendiri di dalam
hati. Tanpa disadari, perlahan-lahan kebiasaan ini
berbuah petaka. Rupanya, inilah yang menyebabkan
ayahnya mengalami penyempitan pembuluh darah
di otak.

Tidak ikhlas? Mungkin itu kata yang paling tepat.
Sebuah keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan
kita, memang seringkali menyebalkan dan sangat
mengganggu. Kekalahan atau kegagalan, dan juga kehilangan,
merupakan hal yang amat sulit untuk diterima.
Akibatnya, kita pun berada dalam keadaan yang tidak
stabil antara menerima dan menolak.

Nah, bila menerima, artinya kita ikhlas. Sebaliknya,
bila tidak, dia akan bersemayam di dalam hati.
Tanpa terasa, dada pun terasa sesak. Itulah yang kita
rasakan saat pacar memutuskan hubungan tanpa sebab,
dus, malah tahu-tahu menikah dengan orang lain, atau
mendapati pasangan berselingkuh, meski semua yang
terbaik sudah kita berikan.

Memang, untuk mengikhlaskan semua kekalahan, kegagalan
atau kehilangan, bukanlah pekerjaan mudah. Bila dunia ini
sepenuhnya dapat ikhlas dalam segala persoalan, pasti
tidak pernah akan ada perang yang memakan ribuan atau
jutaan korban jiwa. Bila semua orang ikhlas, tentu tidak
pernah ada yang namanya ilmu santet.

Riset pun menjelaskan bahwa satu kunci menuju hidup
bahagia ialah menjaga hati agar selalu terbebas dari
rasa kebencian. Dan, bersihkan pikiran dari segala
kekawatiran. Jadi, belajarlah untuk menerima segala
sesuatunya dengan hati yang lapang.

Masih sulit? Pergilah ke hutan, berteriaklah di sana.
Keluarkan segala kecewa di hati. Takkan ada yang terganggu.
Kalau kejauhan, masuklah ke kamar mandi.
Lalu tutup pintu. Tapi awas, jangan sampai
tetangga tahu-tahu terbangun kaget dikira ada maling
beneran atau kucing garong. Atau pergilah berenang,
di dalam air, luapkan tangis. Di kubangan air, takkan
pernah ada yang menduga bahwa Anda tengah
menangis.

Profesor Jeffrey Lohr, dari William Fulbright College
of Arts and Sciences, menjelaskan bahwa berteriak
memberikan sensasi pengendoran otot yang tegang karena
kondisi stres. Sedangkan Dr. William Frey, dari
University of Minnesota, menemukan bahwa menangis
terbukti dapat membuat seseorang merasa lebih baik.
Karena air mata yang keluar berfungsi melepaskan
ketegangan saraf pada tubuh. Asal tentu saja bukan
air mata buaya. Itu kalau Anda kesulitan mengeluarkan
segala kekecewaan di dalam hati.

Kembali lagi soal ikhlas. Lalu bagaimanakah agar kita
bisa sepenuhnya ikhlas? Tanyalah dalam hati. Ikhlas
sejatinya kondisi perasaan di dalam hati. Karena itu
belajar ikhlas juga berarti belajar melihat dengan hati,
mendengar dengan hati, dan tentunya, mengikuti kata hati.

Menurut Erbe Sentanu, penulis buku 'Quantum Ikhlas',
dalam kondisi ikhlas, otak memproduksi hormon serotonin
dan endorfin yang menyebabkan seseorang merasa nyaman,
tenang, dan bahagia. Dalam zona ikhlas, bertebaranlah
berbagai energi positif: rasa syukur, sabar, juga termasuk
fokus. Kita pun tiba-tiba merasa penuh tenaga. Energi
ikhlas ini lalu menyebar ke setiap bagian tubuh.

Erbe Sentanu sendiri mempunyai kisah mengenai
keikhlasan. Setelah enam tahun menikah, Erbe divonis
dokter mengalami aspermatozoa. Suatu kondisi seseorang
tidak akan dapat memiliki keturunan. Awalnya Erbe
terkejut, tetapi ia ikhlas. Dalam penyerahan diri
kepada Tuhan, Erbe membayangkan suatu hari nanti
ia akan dikaruniai buah hati. Hingga suatu hari ia
melakukan uji kualitas sperma. ''Tidak mungkin.
Dari nol persen spermatozoa menjadi tiga puluh persen
dalam tiga minggu? Tidak mungkin!'' seru sang dokter
terkaget-kaget ketika membaca hasil laboratorium.
Kini Erbe memiliki putra bernama Shankara Premaswara.

Pada akhirnya, ikhlas merupakan kata kunci untuk hidup
sehat. Untuk menuju kestabilan hati, manusia memang
perlu katup pelepas. Berteriak dan menangis merupakan
satu jalan keluarnya. Setelah letih, hati dan kepala
biasanya akan berkompromi. Mudah-mudahan, keikhlasan
untuk melepas kekalahan dan kehilangan, yang akan kita
peroleh. Agar hati menjadi netral dan bersih, seperti
sebuah speedometer, pada akhirnya, ia kembali ke titik nol.

Regards,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar