Dari Sahabat......
Tulisan saya ini terinspirasi oleh curahan hati seorang teman–sahabat–dan sudah terposisi dengan sendirinya menjadi seorang kakak buat sy, *yang ada di makasar sana (Sis Miss U)*. Kemarin tiba-tiba dia nelpon dengan sebuah pertanyaan yang pada akhirnya membawa kami (sy & dia) pada sebuah diskusi tentang “mas kawin–uang naik—atau apalah istilahnya”.
Bukan rahasia lagi, kalau tradisi pernikahan di makasar agak lebih ruwet dan sulit dibandingkan dengan daerah-daerah lain…. bukan karena adat dan rentetan pesta yang membuat pernikahan itu agak ribet, tapi kerana sebuah tradisi dan budaya yang melekat kuat di sebagian masyarakat di kampung saya tercinta itu yang pada akhirnya banyak berfikir 2x untuk meminang/melamar gadis dari sulawesi selatan (Makasar–bugis)
….Ribetnya, karena sebuah permintaan mas kawin dari pihak perempuan yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung….bisa mencapai puluhan juta, dan konon kabarnya malah sekarang sudah ada target atau nilai minimal dan maksimal…., mas kawin *atau apalah namanya* berpengaruh nyata dari tingkat pendidikan si perempuan, pekerjaaan dan tingkat sosialnya di Masyarakat. Sedikit penggambaran :
Apabila si perempuan pendidikan terakhirnya cuman SMA, nilai maskawinnya ditargetkan 15.000.000 (lima belas juta), kalau Diploma/strata 1 itu bisa mencapai 25 jutaan *ini belum kalau si perempuan mempunyai karir atau pekerjaan yang menjanjikan, misal PNS… bisa saja uang 25 juta ini tidak berlaku–kasarnya lamaran di tolak dan si anak perempuan akan menempati nilai 30-50 juta *nikah…apa jual anak gadis y???*
Belum lagi kalau si gadis ini sudah bertitel Hajja *sekarang di daerah bugis banyak gadis2 yang sudah Hajjah*, otomatis nilai Jualnya *Jual=terkesan kasar y??* akan semakin tinggi dengan memperhitungkan ongkos ONH yang pernah dikeluarkan….
Penggambaran diatas, secara pribadi saya sangat tidak setuju…dan untungnya keluarga besar saya Alhamdulillah tidak menganut tradisi ini, mungkin karena bapak-ibu saya punya anak laki2 4 orang jadi gak berani pasang target untuk anak-anak perempuannya.
Masyarakat sekitar–keluarga besar–orang tua–, adalah mereka yang menentukan besar kecilnya “mas kawin” yang ditentukan. Ego…dan ingin terlihat hebat dimasyarakat yang akhirnya banyak yang menyampingkan nilai ibadah sebuah perkawinan dan lebih menolak lamaran ketika tawaran yang di patok tidak bisa disetujui pihak laki-laki.
Perasaan anak, di nomor duakan….. meski si anak sudah pada tahap pengenalan dan sudah memiliki ikatan dan janji dengan si pelamar, tapi ketika segala syarat tidak bisa ter ACC kan mau tidak mau dan rela tidak rela hati harus rela dikorbanin……
kembali ke curhatan sahabat saya dimakasar (difasilitasi 0,5/detik telkomsel :)), ternyata saat ini problema ini tertancap manis di tengah niat baiknya untuk penyempurnaan agamanya, saat selangkah lagi niat baiknya yang ingin betul-betul menjadi pengikut Muhammad terbentur hanya sebauh tradisi “mas kawin” yang nyatanya hanya mempersulit dan mengganjal sebuah mimpi untuk membentuk sebuah keluarga sakinah mawaddah warahma. Hanya kerana nilai 15 juta yang tidak bisa dipenuhi, nyaris semuanya gagal….
Untungnya sebuah ide cukup cemerlang yang muncul saat diskusi kami kemarin:
My sist : jadi gimana an???….apa cuman kerena masalah ini rencana kami harus bubar
Sy : Jangan….coba cari jalan dulu, pendekatan ke orang tua dulu lah…..
My sist : Sudah… tapi kayaknya tidak ada jalan, kerana memang harus segitu katanya….
Sy : Kamu punya tabungan gak…..??
My Sist : Adalah….tapi untuk apa nty??
Sy : Gini…kamu bantu kekurangan uangnya….bisa????
My Sist : Saya malu, nanti orang pikir saya sudah terlalu pengen nikah…
Sy : kenapa orang lain mesti tau… cukup kalian berdua yang tau *ups dan sy tentunya*
My Sist : Tapi misal jadi, sy takutnya suatu saat dia atau sy ungkit2 masalah ini
Sy : Kalian punya niat baik kan….jangan takuti yang blum terjadi…..
Itu sedikit perbincangan kami…. *mungkin kalimat nya tidak sama persis, tapi itulah intinya*, berani untuk mengakali dengan tidak mempermalukan diri sendiri…. yach, sebuah kometmen dengan sebuah bayaran mahal…..
Sebuah tradisi yang sebenarnya sudah selayaknya di tinjau kembali *mang UU pa…*, sebagai pengikut Nabi Muhammad selayaknya tetap dengan sunnahnya : “Jangan pernah mempersulit sebuah pernikahan”…. ……
Trik terakhir sipelamar ketika di tolak
Jual murah tanah orang tua *tuk bayar mahar/mas kawin*…..dan jadilah kita tidak dapat warisan “rugi kan…..”
Bobol bank/Kredit … “dan jadilah istri kreditan, Untungnya tidak tertulis… awas hati2 barang kreditan”
Kawin lari….ini opsi yang paling memalukan “aib tanggung sendiri”
Kembali lagi…. Untung saya dititipkan di keluarga dan orang tua yang bijaksana, “berbuatlah dan bertindak sesuai kemampuan”…..
*Dengan tidak bermaksud membagi sisi negatif tradisi yang kami (bugis,mksar) miliki, tapi kerena sebuah pemikiran….apa tidak sebaiknya jangan saling menyulitkan.
Posted by: anty