We make a life by what We give

We make a living by what We get…. We make a life by what We give… Let's give good things to people around us..

Senin, 13 Juli 2009

Multi Level Marketing (MLM)


MLM memang dilematis. Banyaknya praktek MLM yang tidak bertanggung jawab dan membawa korban memberi dampak negatif pada praktek seperti Amway, Tien-shi, Oriflame atau CNI. Bahkan kemudian Amway dan beberapa perusahaan MLM meng-klaim bahwa MLM berbeda dengan piramid, suatu istilah yang mereka tujukan pada praktek bisnis tipuan seperti arisan berantai. Yang jelas istilah MLM menjadi tidak sedap sehingga Herbalife, Prudential, atau perusahaan asuransi lainnya tidak mau menggunakan istilah itu secara terus terang, dan Amway sendiri dengan Network 21-nya juga menghindari istilah MLM dan menggunakan istilah ‘Network Marketing’ (pemasaran jaringan), padahal justru penggunaan istilah ini sebenarnya keliru.

Sebenarnya istilah MLM menunjukkan sistem yang berbeda dengan retail atau waralaba misalnya. MLM bekerja melalui distributor independen (upline) yang membangun kelompok dibawahnya yang disebut ‘downline’ dan selanjutnya ‘downline’ yang semula berfungsi sebagai konsumen kemudian menjadi distributor baru (upline) dan membentuk kelompok ‘downline’ baru dibawahnya. MLM menunjuk pemasaran yang bergerak bertingkat/berlapis (level/layer) secara linier, dan mengapa kemudian ada yang disebut Piramid yaitu karena bentuk dua dimensinya mirip piramid. Bila piramid itu teratur dan membentuk 2 orang downline dari satu upline, maka disebut binary. Tidak ada bentuk yang benar-benar mirip piramid, soalnya multiplikasi masing-masing distributor berbeda, ada yang banyak downlinenya ada yang sedikit dan ada yang cepat bertambah down level-nya ada yang lambat.

Istilah Network sebenarnya mengambarkan tidak adanya batasan jelas antara upline dan downline dan semua unit bisa berhubungan dengan unit manapun dalam jaringan (termasuk ikatan horisontal), dan itu tidak ada dalam MLM dimana downline hanya berhubungan dengan uplinenya sendiri atau downline barunya (ikatan vertikal). Gambaran dalam buku Network-21 mengecoh pembaca, sebab disitu digambarkan upline ibarat telapak tangan yang memiliki jari-jari downline dan setiap ujung jari bak telapak baru memiliki jari-jari dan seterusnya, ini tidak beda dengan gambaran piramid, namun berbeda dengan gambaran sebuah jaring ikan dimana banyak bagiannya saling terkait dengan lainnya.

Sebenarnya yang membedakan antara Amway, Tien-shi, CNI dengan Pentagono atau AKSARA bukanlah bahwa yang satu disebut MLM yang lain Piramid, namun yang membedakan adalah bahwa ‘kandungan praktek’ MLM mereka berbeda-beda. Amway memiliki Topline (yaitu Amway sendiri) dengan komoditi yang dijual secara top-down dengan sistem bonus dan potongan yang diberikan oleh topline kepada para konsumen yang kemudian menjadi distributor, sedangkan AKSARA merupakan penyetoran uang secara bottom-up, ada pembayaran tetapi tidak ada komoditi.

Dan berbeda dengan sistem marketing lain, dimana kwalitas produk bersaing dan konsumen dapat membedakan baik kwalitas maupun harga produk dengan komoditas sejenis, MLM sekalipun mempromosikan komoditinya dengan harga yang masuk akal namun tidak memberi pilihan perbandingan. Bukan kwalitas produk yang dipentingkan namun lebih menitik beratkan pada tehnik menjualnya yang lebih merupakan cuci-otak dan indoktrinasi sehingga konsumen tertarik. Konsumen tertarik bukan karena kwalitas produk namun karena iming-iming bonus dan daya tarik kekayaan yang dipromosikan distributor. Lalu bagaimana dengan klaim Amway yang menganggap dirinya tidak menipu berbeda dengan AKSARA misalnya?

Sekalipun Amway lebih teratur, secara terselubung ada juga unsur menipunya. Semua bentuk MLM akan mengorbankan lapisan terbawah atau ujung-ujung estafet bila terjadi force majeur seperti pasar jenuh, bencana alam, perang atau kecelakaan sekeluarga, juga kalau tiba-tiba topline berhenti produksi karena dibubarkan atau pailit. Jadi, slogan bahwa: “Semua anggota memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan produk/jasa” jelas menipu, karena kalau terbentuk bottomline/grassroot, maka kenikmatan yang telah diperoleh upliners sebenarnya dibayar oleh kerugian bottomline yang jumlah orangnya jauh lebih banyak dari jumlah keseluruhan upliners.

Bottomline/grassroot dalam situasi paceklik demikian karena tidak bisa menjadi distributor (bukan karena salahnya sendiri) akan menanggung dua macam kerugian: (1) mahalnya produk, yang menurut pengakuan pihak MLM sendiri disebutkan bahwa untuk membayar bonus, sampai dua-per-tiga harga produksi digunakan untuk royalti, potongan dan bonus. Maka bila dipotong keuntungan perusahaan, sebenarnya harga produk itu rielnya cuma sekitar 10 persen dari harga produk, sisanya kemahalan; dan (2) royalti & bonus tidak didapat, ini bukan karena salahnya sendiri tapi situasi memaksa. Yang jelas jumlah korban ini akan banyak sekali. Misalnya dalam deretan 1-5-25-125-625 bisa kita lihat bahwa bottomline (dhi.625) itu besarnya 4X jumlah upline 1+5+25+125 (=156). 625 orang akan gigit jari demi kenikmatan 156 orang. Makin lama MLM beroperasi makin akan berjibun jumlah korbannya.

Dilihat dari sudut korban, ruginya bottomliner AKSARA tidak beda dengan ruginya bottomliner misalnya Amway. Bila bottomliner AKSARA berkorban masing-masing 10 ribu rupiah, maka bottomliner Amway malah bisa berkorban jauh lebih dari itu berupa nilai kemahalan harga produk dikurangi biaya produksi yang riel. Kerugian bottomliner yang jumlah orangnya jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah akumulatif upliner yang sudah menikmati bonus besar!

Dari terang di atas jelas terlihat bahwa MLM bukanlah sistem marketing yang adil dan jujur tapi penuh dengan kemungkinan penyalah gunaan terutama mengorbankan bottom liner. Dalam literatur MLM soal ‘resiko bottomline/grassroot yang akan dikorbankan’ tidak pernah diceritakan, padahal itu menyangkut jumlah orang yang jauh lebih besar dari yang sudah menikmati keuntungan. Bisnis dianggap berjalan dalam waktu tak terhingga padahal kita melihat bahwa tidak ada yang kekal di bumi. Marketing dalam bentuk lain memberi peluang hidup perusahaan dan banyak pihak lain di luar perusahaan, namun MLM memangkas semua biaya untuk itu sehingga terpupuklah dana besar untuk royalti & bonus para distributor demi keuntungan sendiri.

Selain itu, karena sifatnya nir-sarana (tanpa kantor, organisasi manajemen dll.) maka MLM cenderung beroperasi bagai ‘benalu’ dimana setiap distributor kemudian memanfaatkan fasilitas dan koneksi di mana ia berada. Seorang pegawai perusahaan akan memanfaatkan fasilitas kantor dimana ia bekerja, dosen memanfaatkan fasilitas kampus, bahkan anggota jemaat gereja memanfaatkan pertemuan setelah kebaktian untuk pemasaran kepada sesama jemaat lainnya. Di Indonesia ada kelompok-kelompok mahasiswa/profesional kristen yang banyak aktivisnya penganjur MLM, mereka memanfaatkan persekutuan yang telah terjalin sebagai sarana pengembangan bisnis MLMnya.

Dapat dimaklumi mengapa banyak perusahaan melarang pegawainya ikut MLM (seperti Astra & Gramedia) bahkan ada yang mengancam dengan sanksi PHK, pasalnya, banyak pegawai yang ikut MLM kemudian menggunakan ruang kantor, waktu kantor dan pulsa telpon kantor untuk kegiatan MLMnya. Di beberapa gereja, bahkan majelis jemaat ada yang menggunakan persekutuan jemaat bukan sebagai sarana ‘koinonia’ (persekutuan) tetapi digunakan untuk pemasaran MLM (diplesetkan sebagai dagang ‘koin’). Di USA jumlah level/layer MLM yang diizinkan juga diatur pemerintah secara ketat, soalnya ini menyangkut struktur biaya produk. Network-21 dari Amway banyak menghadapi tuntutan pengadilan dan sering kalah dalam pengadilan karena representasi yang salah. Lagipula berapa banyak pajak penghasilan digelapkan dalam perusahaan tanpa organisasi dan pegawai demikian? Bonus umumnya dianggap bukan penghasilan yang bisa dikenai pajak.

Bagi umat beragama, kita perlu waspada mengingat tujuan bisnis MLM berlawanan dengan semangat ‘mengasihi sesama’ yang diajarkan Agama. MLM menawarkan daya tarik mamon, yaitu kekayaan & kemewahan materi, mobil mewah dan jalan-jalan keluar negeri, perilaku yang potensial menomor duakan iman kepada Tuhan. David Roller menulis buku berjudul ‘How to make Big Money in MLM’, dan dalam bukunya ‘Network & Multi Level Marketing’, Allen Carmichael menulis “buku ini akan memberi anda kunci yang diperlukan untuk membuka pintu menuju kaya raya.”

Lebih lagi, pelatihan semacam Network-21, menggaet seseorang ke dalam jaring pengembangan diri (percaya diri) ‘New Age’ yang berpusat diri manusia. Dalam buku ‘Sistem untuk Sukses – Network-21,’ disebutkan “Anda percaya pada diri sendiri” dan agar kita “memvisualisasikan impian kemakmuran masa depan”. Impian indah yang berbau mantra yang “sangat menentukan keberhasilan dalam bisnis ini.” Tokoh-tokoh pelatihan New Age seperti Napoleon Hill, Harold Robins, Stephen Covey dijadikan inspirasi mimpi indah demikian, padahal pelatihan pengembangan diri demikian cenderung ‘mencuci-otak’ dan ‘indoktrinasi kejiwaan’ menurut American Psychologist Association. Sayang MLM tidak memvisualisasikan mimpi buruk bottomliner yang kelak akan menggigit jari.

Network-21 mendorong peserta mempelajari antara lain buku Dale Carnegie “How to Win Friends & Influence People” sebuah buku yang banyak dikritik orang karena mengajarkan artificial ethics/behaviour. Senyum sebagai kunci sukses dalam bergaul, dan hargailah semua orang (karena semua orang merasa dirinya penting) agar ia menyenangi kita. Dapat teman (friend) lebih penting dari persahabatan (friendship) dan soal baik buruk kabur. Richard de Vos, pendiri Amway, ber-slogan: “Tolonglah orang lain agar kita dapat menolong diri sendiri”, dengan kata lain, kasih kepada sesama dilakukan dengan pamrih yaitu “agar kita bisa menolong diri sendiri.” Suatu kasih eros yang berbeda dengan kasih ‘Agape’, yaitu berkorban agar dapat menolong orang lain. Seperti yang dilakukan para pahlawan kita.

1 komentar:

  1. Terima kasih banyak atas infonya gan.
    Lumayan nambah elmu.

    Gema Parfum :
    Parfum Adidas.


    ----------------

    BalasHapus