We make a life by what We give

We make a living by what We get…. We make a life by what We give… Let's give good things to people around us..

Jumat, 23 April 2010

BIARKAN MENGALIR SEPERTI AIR


Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, "Guru, saya sudah bosan
hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau.
Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati."

Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."

"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu
sebabnya saya ingin mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit.
Dan penyakitmu itu bernama, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap
kehidupan."

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa
disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan.
Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita
menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut
mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit.

Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.
Usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil
itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi
dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin
mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin
sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku." kata sang Guru.

"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin
hidup." Pria itu menolak tawaran sang Guru.

"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?"

"Ya, memang saya sudah bosan hidup."

"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini.
Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisasnya kau
minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan
tenang."

Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia
datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang
satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun.
Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan
senang hati.

Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang
disebut "obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak
pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1
malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam
masalah.

Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran
Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.
Ini adlaah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil
makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia
mencium bibir istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu." Sekali
lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan
kenangan manis!

Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan
pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih
tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir
kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah
pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa
aneh sekali, "Sayang, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku
salah. Maafkan aku, sayang."

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya
pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung
berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir,
ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di
sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai
terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia
mulai menikmatinya.

Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di
beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya,
"Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan
kamu." Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua.
Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami."

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi
sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana
dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?

Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru
langsung mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya
air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian, apabila kau
hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau
akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu,
kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai
kehidupan
. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup.
Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju
ketenangan."

Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke
rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih
mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya,
ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!

Senin, 19 April 2010

Salah Satu Puisi WS Rendra ( bagus untuk di renungkan )

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,

bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,

bahwa mobilku hanya titipan Nya,

bahwa rumahku hanya titipan Nya,

bahwa hartaku hanya titipan Nya,

bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah

kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,

kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,

aku ingin lebih banyak harta,

ingin lebih banyak mobil,

lebih banyak rumah,

lebih banyak popularitas,

dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,

Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :

aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan

Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

(WS Rendra). --

Selasa, 06 April 2010

Kisah Seorang Wartawan


Seorang wartawan sedang meliput peristiwa kecelakaan di dekat Ragunan. Karena banyak orang yang mengerumuni lokasi kecelakaan, sehingga wartawan tersebut tidak dapat menerobos untuk melihat korban dari dekat. Wartawan tersebut pun mendapat ide."Minggir-minggir semua, saya ayah korban!" ia berseru."Saya minta jalan, saya ayah korban." Benar saja kerumunan itu membiarkan dia lewat. Semua mata terarah kepada wartawan tersebut. (wartawan pun GR, dalam hati: "Berhasil juga nih!!!") Ketika sampai di tengah kerumunan, ia terpana melihat SEEKOR ANAK MONYET tergeletak tak berdaya.

pisss :D

Senin, 05 April 2010

Kisah 1000 Hari Sabtu


Shared by Fr. Rick of Kingston , NY

Makin tua, aku makin menikmati Sabtu pagi. Mungkin karena adanya

keheningan sunyi senyap sebab aku yang pertama bangun pagi, atau

mungkin juga karena tak terkira gembiraku sebab tak usah masuk kerja.

Apapun alasannya,

beberapa jam pertama Sabtu pagi amat menyenangkan.

Beberapa minggu yang lalu, aku agak memaksa diriku ke dapur dengan

membawa secangkir kopi hangat di satu tangan dan koran pagi itu di

tangan lainnya. Apa yang biasa saya lakukan di Sabtu pagi, berubah menjadi saat yang

tak terlupakan dalam hidup ini. Begini kisahnya:


Aku keraskan suara radioku untuk mendengarkan suatu acara

Bincang-bincang Sabtu Pagi. Aku dengar seseorang agak tua dengan suara

emasnya. Ia sedang berbicara mengenai seribu kelereng kepada seseorang

di telpon yang dipanggil "Tom". Aku tergelitik dan duduk ingin

mendengarkan apa obrolannya.



"Dengar Tom, kedengarannya kau memang sibuk dengan pekerjamu. Aku

yakin mereka menggajimu cukup banyak, tapi kan sangat sayang sekali

kau harus meninggalkan rumah dan keluargamu terlalu sering.

Sulit kupercaya kok ada

anak muda yang harus bekerja 60 atau 70 jam seminggunya untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Untuk menonton pertunjukan tarian putrimu pun

kau tak sempat".

Ia melanjutkan : "Biar kuceritakan ini, Tom, sesuatu yang membantuku

mengatur dan menjaga prioritas apa yang yang harus kulakukan dalam

hidupku".



Lalu mulailah ia menerangkan teori "seribu kelereng"

nya. "Begini Tom,

suatu hari aku duduk-duduk dan mulai

menghiitung- hitung. Kan umumnya orang

rata-rata hidup 75 tahun. Ya aku tahu, ada yang lebih dan ada yang

kurang, tapi secara rata-rata umumnya kan sekitar 75 tahun.

Lalu, aku kalikan 75

ini dengan 52 dan mendapatkan angka 3900 yang merupakan jumlah semua

hari Sabtu yang rata-rata dimiliki seseorang selama hidupnya. Sekarang

perhatikan benar-benar Tom, aku mau beranjak ke hal yang lebih

penting".



"Tahu tidak, setelah aku berumur 55 tahun baru terpikir olehku semua

detail ini", sambungnya, "dan pada saat itu aku kan sudah melewatkan

2800 hari Sabtu. Aku terbiasa memikirkan, andaikata aku bisa hidup

sampai 75 tahun, maka buatku cuma tersisa sekitar 1000 hari Sabtu yang

masih bisa kunikmati".



"Lalu aku pergi ketoko mainan dan membeli tiap butir kelereng yang

ada. Aku butuh mengunjungi tiga toko, baru bisa mendapatkan 1000

kelereng itu.

Kubawa pulang, kumasukkan dalam sebuah kotak plastik bening besar yang

kuletakkan di tempat kerjaku, di samping radio.

Setiap Sabtu sejak itu, aku

selalu ambil sebutir kelereng dan membuangnya" .



"Aku alami, bahwa dengan mengawasi kelereng-kelereng itu menghilang,

aku lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang betul-betul penting dalam

hidupku.

Sungguh, tak ada yang lebih berharga daripada mengamati waktumu di

dunia ini menghilang dan berkurang, untuk menolongmu membenahi dan

meluruskan segala prioritas hidupmu".



"Sekarang aku ingin memberikan pesan terakhir sebelum kuputuskan

teleponmu dan mengajak keluar istriku tersayang untuk sarapan pagi.

Pagi ini, kelereng terakhirku telah kuambil, kukeluarkan dari

kotaknya. Aku befikir, kalau aku sampai bertahan hingga Sabtu yang

akan datang, maka Allah telah meberi aku dengan sedikit waktu tambahan

ekstra untuk kuhabiskan dengan orang-orang yang kusayangi".



"Senang sekali bisa berbicara denganmu, Tom. Aku harap kau bisa

melewatkan lebih banyak waktu dengan orang-orang yang kau kasihi, dan

aku berharap suatu saat bisa berjumpa denganmu. Selamat pagi!"



Saat dia berhenti, begitu sunyi hening, jatuhnya satu jarumpun bisa

terdengar! Untuk sejenak, bahkan moderator acara itupun membisu.

Mungkin ia mau memberi para pendengarnya, kesempatan untuk memikirkan

segalanya.

Sebenarnya aku sudah merencanakan mau bekerja pagi itu, tetapi aku

ganti acara, aku naik ke atas dan membangunkan istriku dengan sebuah

kecupan.



"Ayo sayang, kuajak kau dan anak-anak ke luar, pergi sarapan".



"Lho, ada apa ini...?", tanyanya tersenyum.



"Ah, tidak ada apa-apa, tidak ada yang spesial", jawabku, " Kan sudah

cukup lama kita tidak melewatkan hari Sabtu dengan anak-anak ? Oh ya,

nanti kita berhenti juga di toko mainan ya? Aku butuh beli kelereng."



SPEND YOUR WEEKEND WISELY AND MAY ALL SATURDAYS BE SPECIAL AND MAY YOU

HAVE MANY HAPPY YEARS AFTER YOU LOSE ALL YOUR MARBLES.